Selasa, 30 April 2013

Arti Dari Perbedaan


Assalaamu’alaikum wr wb
http://osolihin.files.wordpress.com/2007/04/berbeda.jpg?w=300&h=187Saat mengendarai sepeda motor sepulang kerja, di depan saya ada sebuah mobil sedan. Karena jalanan cukup sempit saya nggak bisa menyalipnya dengan mudah. Apalagi dari arah berlawanan sering ada mobil juga. Setiap kali direm, di bagian belakang mobil sedan itu, di balik kaca belakangnya, ada tulisan teks berjalan dengan warna merah yang membuat saya harus berpikir keras untuk menyerap maknanya. Kalimat itu tertulis: “Jangan berani untuk sama”.
Jangan berani untuk sama? Ya, ada baiknya juga memang kalimat tersebut, meski kalimat itu menurut saya sangat bersayap alias bisa berarti banyak. Tergantung siapa yang menerjemahkannya dan untuk menjelaskan beragam maksud. Tentu sesuai pula dengan persepsi masing-masing orang. Itu sebabnya kenapa disebut sebagai kalimat “bersayap”.
Kalimat “Jangan berani untuk sama”, bisa berarti bahwa kita nggak perlu minder untuk berbeda dengan yang lain. Bahkan perbedaan itu sangat boleh jadi justru sebuah keberanian. Itu sebabnya, kalo untuk sesuatu yang sama, nggak usah (terlalu) berani. Begitu kira-kira. Sebuah pilihan yang mungkin saja sudah dipertimbangkan sangat matang. Nggak asal aja.
Nah, kalo kita ‘syarah’ (dianalisis dan diperjelas) lagi. Misalnya tentang keputusan kita memilih menjadi aktivis rohis. Tentunya kita memilih berbeda dengan kebanyakan teman lain yang justru saat itu lebih cenderung gabung di klub eskul olahrga, tari, pecinta alam, atau kegiatan lainnya. Berbeda dari teman lain dengan menjadi aktivis rohis, tentunya ini adalah sebuah keberanian. Iya kan?
Lalu bagaimana dengan teman kita yang justru ingin berbeda dari komunitas anak rohis? Ia nggak berani untuk sama dengan anak rohis. Tapi berani untuk berbeda dari anak rohis dengan menjadi anak gaul yang hobinya dugem dan gaul bebas dengan lawan jenis. Baginya, menjadi aktivis dugem dan gaul bebas adalah sebuah keberanian untuk tidak sama dengan anak rohis.
Lha, kalo yang kayak gini gimana jadinya? Hmm.. itu sebabnya, menurut saya kalimat itu disebut “bersayap” alias banyak arti tergantung persepsi orang yang menerjemahkannya. Waduh, gimana urusannya dong? Mana yang benar dan mana yang salah? Kapan boleh berbeda dan kapan seharusnya sama?
Tenang sobat, nggak usah keburu bingung atau stres. Ini justru menurut saya adalah bagian dari kelemahan kita. Dengan demikian, kita memang nggak bisa menentukan sesuatu itu benar atau salah sesuka hati, pikiran, atau perasaan kita. Bahaya. Karena apa? Karena bisa jadi banyak persepsi. Singkatnya, kita perlu standar yang mengatur batasan-batasan tersebut. Ya, kudu ada ukuran yang fixed. Nggak bisa sembarangan.
Inilah barangkali alasan kenapa “ukuran panjang satu meter” pun sudah ditetapkan secara internasional. Alat pengukur lain harus dikalibrasi  (diuji, dicocokan) dengan standar yang dibuat. Supaya ada kesamaan dan kejelasan penilaian. Bayangin deh kalo untuk sebuah ukuran saja harus ada sekian ukuran yang ditentukan sesuai selera masing-masing, kita pasti bingung pilih yang mana. Iya kan? Misalnya aja ukuran panjang “sedepa” itu diukur lewat panjang rentangan dua tangan tiap orang yang beda-beda. Kalo kemudian masing-masing orang meyakini sesuai pengukurannya, kita pusing. Karena setiap ukuran panjangnya jadi sesuai ‘ukuran’ rentangan tangan masing-masing. Padahal, orang yang tinggi dengan yang pendek pasti beda ukuran rentang tangannya. Betul?
Lalu, buat apa saya menulis catatan ini dengan judul, “arti sebuah perbedaan”? Begini penjelasannya. Berbeda boleh saja kok. Asal, itu dalam sebuah koridor yang dibolehkan untuk berbeda. Misalnya, untuk selera makan, ya nggak bisa disamain tiap orang. Rasa suka kepada lawan jenis juga nggak bisa disamain untuk semua orang. Warna baju juga boleh berbeda kok. Termasuk boleh juga berbeda pendapat dalam masalah furu’iyah (cabang). Misalnya, kita nggak bisa maksa orang untuk melakukan sholat shubuh dengan melakukan qunut atau tidak. Karena kedua pendapat itu masing-masing memiliki dalil. Untuk kasus ini nggak perlu ribut lah. Nggak perlu mengklaim salah satu benar dan satunya pasti salah. Karena yang seharusnya disalahkan adalah yang nggak sholat shubuh. Seharusnya kedua belah pihak bersatu padu untuk menyadarkan yang masih belum mau sholat shubuh. Tul nggak sih?
Bagaimana dengan yang tidak boleh berbeda (dan itu harus sama), dalam masalah apa aja? Nah, menurut saya di sini berlaku pernyataan bahwa “bagi yang mau sama”, dapet gelar berani. Misal, sebagai muslim kita wajib menjadikan Islam sebagai the way of life kita. Bukan agama lain, atau kepercayaan lain untuk menuntun hidup kita. Ya, cuma Islam. Di sinilah kita wajib sama dan kudu berani untuk sama. Karena kesamaan ini jelas ada dalilnya. Ketika kita sudah menyatakan sebagai muslim, maka seluruh kehidupan kita harus rela diatur oleh Islam.
Allah Swt. berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan..” (QS al-Baqarah [2]: 208)
Sobat muda muslim, dengan ayat ini, berarti kita kudu total dalam memeluk Islam. Nggak boleh belang-belang. Nggak boleh setengah-setengah. Jangan sampe berbagai aturan kita pake, padahal kita muslim. Itu namanya “malpraktek”. Kita ngakunya muslim, tapi nyuri barang orang lain jadi hobi kita. Kita bilang ke mana-mana bahwa kita aktivis rohis, ternyata kita malah melakukan pacaran. Ortu kita rajin ngajinya, tapi yang diulik bukan al-Quran, melainkan Darmogandul, primbon dan sejenisnya. Lha, ini jelas salah prosedur, guys!
Dalam masalah keyakinan akidah Islam inilah kita harus berani untuk sama. Nggak boleh nekat berbeda. Allah kembali menjelaskan dalam firmanNya, “Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (QS al-Ahzab [33]: 36)
Sebagai kesimpulan, bahwa “arti sebuah perbedaan” itu kudu jelas batasannya. Ada saatnya kita boleh berbeda, tapi ada saatnya kita harus sama. Tapi standar boleh dan tidaknya kita berbeda atau sama itu hanya aturan Islam. Ya, karena kita sebagai seorang muslim.
Guys, jangan sampe kita berani untuk beda, tapi ternyata “bedanya” kita itu malah dibenci dalam ajaran Islam. Karena apa? Karena perbedaan yang kita kampanyekan justru melanggar ajaran Islam. Misalnya, kita mengkampanyekan pentingnya demokrasi dan sekularisme sebagaithe way of life kita. Wah, itu sih namanya perbedaan yang tak pantas disandang dan bahkan mencoreng kepribadian kita sebagai Muslim. Sebabnya, demokrai dan sekularisme adalah bertentangan dan bahkan menentang Islam. So, ati-ati ya Bro! Tanamkan dalam pikir dan rasa kita bahwa cuma Islam yang kita jadikan the way of life, bukan yang lain!
Salam,
O. Solihin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar