Suatu
hari, tiba dimana perayaan tahunan diselenggarakan. Ini adalah acara dimana
seluruh rakyat berkumpul dan raja membagikan hasil panen secara sukarela. Namun
seorang anak terlihat murung di tengah riuhnya suara rakyat disana sini. Lalu
mendekatlah seorang guru sufi dan bertanya, “Nak, kenapa hanya duduk-duduk
saja? Tidak tertarikkah kamu dengan apa yang akan diberikan raja?” Dia lalu
menjawab, “Guru, aku sungguh tidak tahu bagaimana rasanya bersyukur. Belakangan
ini, ada begitu banyak hal sulit yang harus aku hadapi, dan ini membuatku
menjadi tidak bersemangat.”
Sementara itu, terdengar suara riuh disana-sini. Rakyat begitu
gembira sampai masing-masing dari mereka berkata bahwa ini adalah rahmat tak
terkira. Bahkan sebagian lagi berucap syukur kepada sang raja karena telah
bermurah hati kepada rakyatnya. Mereka juga mendoakan agar sang raja panjang
umur dan dijauhkan dari segala penyakit. Melihat itu, sang guru pun kembali
berkata, “Kamu lihat, mereka sungguh bergembira, dan kenapa tidak kamu pun ikut
bergembira bersama mereka?”. “Apa yang bisa membuatku kembali bersemangat, coba
tujukkan padaku, guru” jawabnya.
Sang guru lalu tersenyum, “Nak, coba kamu ambilkan aku segelas
air dan satu genggam garam”. Sang murid pun lalu beranjak dan melaksanakan
perintah gurunya. “Sekarang, coba kamu masukkan garam tersebut dan aduk merata,
lalu kamu minum airnya sedikit”. Sang murid pun melakukannya, dan tak lama
kemudian, ia pun meringis keasinan. “Bagaimana rasanya?” tanya sang guru. “Guru
tentu sudah tahu, ini asin, dan membuatku mual.”
Sang guru hanya tersenyum dan lalu mengajak muridnya pergi ke
sebuah danau. “Sekarang, ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau ini”,
ucap sang guru. Tanpa banyak bicara, sang murid pun lalu menebarkannya dengan
jumlah garam yang sama seperti saat ia menaburkannya kedalam gelas.
“Sekarang, coba kamu minum airnya dan ungkapkan bagaimana
rasanya”. Sang murid menangkupkan kedua tangannya dan lalu meneguk air yang ia
ambil perlahan. “Wah, ini segar sekali, guru. Tidak membuatku mual, tidak juga
terasa asin seperti air dalam gelas tadi.” Tak berhenti sampai disitu, sang
murid pun kembali meneguknya dan lalu mengelap bibir dengan punggung tangannya.
Terlihat bahwa dia benar-benar menikmati segarnya air danau yang berasal dari
pegunungan itu.
Sang guru pun lalu duduk diantara bebatuan dan berkata, “Nak,
segala permasalahan hidup itu seperti halnya segenggam garam. Banyaknya
penderitaan yang harus kamu alami, itu hanyalah sebuah catatan hidup. Sebaik
apa kamu melewatinya, seburuk apa kamu menghadapinya, dan sesempurna apa kamu
mensyukurinya, itulah yang akan menentukan seberapa besar keberhasilanmu kelak.
Tidak hanya padamu, tapi seluruh yang hidup di muka bumi, akan mendapatkan hal
yang sama. Bahkan mungkin penderitaan mereka jauh lebih berat dari padamu. Tapi
Nak, rasa asin dari penderitaan yang kamu alami itu sangat bergantung dari
seberapa besar ‘hati’ menampungnya. Semakin besar hatimu, maka akan semakin
ringan penderitaanmu. Jadi Nak, untuk menghadapi segala rintangan dan cobaan,
berhentilah menjadi sebuah gelas dan mulailah berhati besar seperti danau yang
luas. Dan barulah kamu bisa bersyukur atas apa yang telah kamu terima.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar