Secara umum orang mengartikan kata karma dengan demikian seram.
Saking seramnya, sering muncul nasehat untuk tidak melakukan suatu
kesalahan atau dosa, agar tak kena karma. Kesan yang muncul pun
seakan-akan karma itu negatif, hanya ganjaran bagi perbuatan salah.
Pokoknya ganjaran yang sifatnya menyeramkan. Karma senantiasa
dibicarakan sebagai yang tidak baik.
Sejatinya pengertian karma itu tidaklah demikian. Karma arti sebenarnya
adalah perbuatan. Karma dapat juga diartikan sebagai hasil dari
perbuatan itu. Karena sesungguhnya antara perbuatan dan hasilnya tak
pernah bisa dipisahkan. Suatu perbuatan itu sudah satu paket dengan
hasilnya, bagaikan dua sisi mata uang.
Selanjutnya, yang dikatakan perbuatan itu adalah pikiran, perkataan, dan
tindakan. Mana saja yang dilakukan di antara ketiganya akan berbuah
atau membuahkan hasil. Demikianlah karma itu, sehingga karma dianggap
sebagai sebuah hukum, yang memiliki kepastian, yang pasti berlaku. Hukum
karma demikian ia disebut. Atau lengkapnya disebut dengan hukum karma
phala.
Hukum karma phala adalah hukum aksi reaksi, hukum sebab akibat. Oleh
karena ada suatu sebab maka akan ada suatu akibat. Oleh karena ada satu
aksi, akan ada suatu reaksi, dan seterusnya. Hukum inilah yang mengatur
kehidupan makrokosmos dan mikrokosmos, kehidupan di alam semesta dan
kehidupan semua mahluk hidup.
Kadangkala keberadaan hukum karma disamakan dengan nasib, bahkan suratan
takdir. Di balik itu perlu dipahami bahwa suratan itu ditulis sendiri
oleh yang bersangkutan, sama sekali bukan oleh orang atau pihak lain.
Kalau perbuatan yang dilakukan baik, ya pasti hasilnya akan baik juga.
Kalau yang dilakukan adalah perbuatan yang tidak baik, ya hasilnya juga
demikian.
Kitalah yang mendesain nasib kita, bukan orang lain, bukan juga
ditentukan sedemikian adanya oleh Pencipta. Tuhan memang diyakini
sebagai causa prima, penyebab utama, tetapi dalam hal ini Beliau
sebenarnya hanya sebagai saksi abadi. Beliau hanya mencerminkan,
memantulkan, dan bereaksi. Apa yang diperbuat demikianlah terpantulkan
kembali kepada yang berbuat. Beliau telah membekali manusia dengan
akal/pikiran, budi, ketidakterikatan, perasaan kagum serta hormat. Semua
itu sebagai alat timbang untuk melakukan mana yang baik atau buruk,
mana yang benar atau yang salah. Semua “alat “ itu, yang merupakan
anugrah dan kelebihan manusia di antara mahluk lain, yang hendaknya
digunakan secara benar untuk mencapai cita-cita rohani dan tujuan
jasmaniah.
Sifat Hukum Karmaphala
1.Abadi: keberadaan hukum ini dimulai pada saat alam semesta
ini ada dan akan berakhir pada saat pralaya (kiamat). Walaupun demikian,
tidak ada seorang pun yang tahu kapan penciptaan dan berakhirnya alam
semesta ini. Inilah yang menjadi rahasia Pencipta. Penciptaan alam
semesta bersamaan dengan penciptaan hukum-hukum yang bekerja secara amat
sangat canggiiiih sekali dan memiliki ketepatan yang tiada tara. Hukum
grafitasi diciptakan bersamaan dengan diciptakan-Nya alam semesta.
Kebetulan saja ada mahluk Tuhan yang bernama Isaac Newton yang
menggunakan akal/pikiran dan budinya dengan baik, sehingga berhasil
mengungkap “keberadaan” dan “cara kerja” hukum ini, walaupun sebelumnya
pun kalau ada benda yang dilemparkan ke atas, pasti akan jatuh lagi ke
bumi. Lalu manusia lain mengakuinya dan menamakan hukum ini dengan
“hukum Newton”.
2.Universal: hukum ini berlaku pada setiap ciptaan Tuhan,. Di
mana pun berada, bagaimanapun wujud ciptaan itu, hukum ini berlaku
baginya. Mempercayai atau tidak mempercayai keberadaan hukum ini, jika
masih berada di alam semesta ini, hukum ini tetap bekerja baginya. Kalau
ia berbuat baik, hasilnya pasti baik juga, dan hasilnya dia juga yang
akan menikmatinya. Kalau sebaliknya, ya demikian juga. Kalau ada
anggapan bahwa hanya kalau berbuat dosa saja kena hukum karma, ya inilah
salah kaprah yang luar biasa.
3.Berlaku sepanjang zaman: pada zaman apa pun hukum ini tetap
berlaku dan tidak mengalami perubahan. Baik pada zaman satya (kerta)
yuga, treta yuga, dwapara yuga, kali yuga hukum ini tetap berlaku. Kalau
di zaman sekarang (yang diidentifikasi sebagai zaman kali, zaman
terakhir) sepertinya hukum karmaphala ini tidak lagi efektif bekerja,
ya anggapan itu keliru lagi. Kalau kelihatan bertentangan, itu hanya
penglihatan dan analisis manusia yang sangat terbatas, yang tidak mampu
melintasi dan menggabungkan berbagai fakta dari zaman lainnya dengan
lengkap. Demikian singkatnya pengetahuan dan pemahaman manusia tak mampu
mengungkap lintas zaman tadi, karena rentang waktunya demikian lamaaaaa
sekali, yang ribuan bahkan jutaan kali rentang umur manusia. Sedangkan
pengetahuan tentang diri dan perbuatannya semasa bayi atau anak-anak
saja tak tersimpan lagi di memorinya, bagaimana mau menyimpan peristiwa
lintas zaman?
4.Sempurna: karena kesempurnaannya, kerja hukum ini tak dapat
diganggu-gugat, diubah atau dipaksa berubah. Sifatnya konstan dan tidak
berubah dari zaman ke zaman. Hukum ini hanya dapat “ditaklukkan”dengan
cara mengikuti alur kerjanya, diiringi dengan keihklasan yang dalam.
Kalau menurut penglihatan dan analisis manusia, dia menerima hasil yang
tidak sesuai dengan perbuatannya, bisa dipastikan penglihatan dan
analisisnya itu tidaklah lengkap. Kalau rasa-rasanya telah dan selalu
berbuat baik, lalu hidupnya begitu-begitu saja atau malah menderita
sepanjang hayat, mesti ada yang belum terungkap. Ada mata rantai
kausalitas yang menyebabkan demikian. Itulah yang tak mampu dijangkau
nalar, pikir, dan budi manusia. Karena bak iklan sebuah produk, hukum
ini mengikuti yang berbuat atau yang berkarma kapan dan di manapun
berada.
Jenis Hukum Karmaphala
Hukum karmaphala diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Bisa
berdasarkan masa kehidupan, berdasarkan unsur triguna, berdasarkan
kesucian, kebenaran, tri sarira, dan berdasarkan hasilnya. Lebih jauh
jenis-jenis atau pembagian hukum karmaphala itu dapat dijelaskan di
bawah ini.
1. Berdasarkan waktu atau masa kehidupan, karmaphala dibagi atas sancita, prarabda, dan kriyamana atau agami.
a. sancita karmaphala: sancita bisa diumpamakan sebagai
tabungan masa lalu. Masa lalu dalam pengertian ini bukan hanya berkisar
kehidupan ini saja. Masa lalu yang dimaksudkan adalah masa yang telah
lewat dan melintasi berbagai kelahiran. Tabungan itu bisa berupa hasil
perbuatan baik atau sebaliknya. Tabungan itu masih ada sampai kini, dan
tetap bekerja mempengaruhi jalan hidup seseorang. Inilah terjemahan
nasib atau suratan. Sancita karma bisa menjawab dan menjelaskan berbagai
perbedaan nasib seseorang saat ini.
b. prarabda karmaphala: adalah karma pada kehidupan saat ini.
Apa yang dialami dalam hidup ini adalah buah atau hasil perbuatan masa
lalu dan usaha yang dilakukan saat ini. Buah perbuatan masa lalu, kalau
masih ada sisa, saat inilah waktunya dipetik. Hal inilah yang
menjelaskan fenomena bahwa ada orang yang selalu berbuat baik dalam
hidupnya kini, tapi hidupnya tidak ada peningkatan atau malah menderita.
Ada yang kelihatannya tidak banyak berbuat baik atau malah melakukan
dosa, tetapi kehidupannya tetap baik-baik saja, harta melimpah, dst.
Dengan senyum-senyum saja (bintang iklan, misalnya), beberapa orang bisa
memperoleh uang jutaan. Sebaliknya, ada yang seharian membanting
tulang, hasilnya hanya pas buat makan hari itu. Semua itu adalah
pengaruh dari sancita, tabungan masa lalu, yang saat ini sedang
dinikmati hasilnya. Sancita karma dan prarabda tak bisa dipisahkan.
Sancita menjelaskan berbagai perbedaan dan “ketimpangan” nasib hidup
manusia di masa yang sedang dialaminya kini. Sancita pula yang bisa
menjawab mengapa ada yang lahir dengan wajah gagah, atau cantik, lalu
memiliki bekal hidup material yang lebih dari cukup. Lalu, ada yang
lahir dengan kekurangberuntungan, baik fisiknya maupun bekal hidup.
Lalu, di mana pengaruh prarabda? Apa tidak ada gunanya? Mari dilihat
perumpamaan berikut. Kita andaikan perbuatan masa lalu adalah garam yang
terlanjur banyak dimasukkan ke dalam sayur. Sayurnya jadi asin. Karena
sudah terlanjur, perbuatan itu tak bisa dibatalkan. Garam itu tidak bisa
lagi dipungut. Kita hanya bisa menikmati asinnya. Nah, rasa asin ini
bisa dikurangi dengan menambahkan air ke dalam sayur tersebut. Perbuatan
menambahkan air inilah yang bisa diandaikan dengan prarabda karma.
Bukankah tetap ada gunanya? Demikian pula usaha yang dilakukan dalam
kehidupan sekarang bisa mengurangi penderitaan sebagai akibat perbuatan
masa lalu. Kalau kita menderita sebenarnya kita sedang “melunasi” hutang
sisa perbuatan itu.
c. kriyamana karmaphala: adalah karma yang sedang dibuat untuk
masa depan. Dapat diumpamakan sebagai kegiatan menabung. Hasilnya bisa
dinikmati saat kehidupan ini atau pada hidup sesudah kehidupan ini.
Inilah yang memberikan optimisme bagi manusia. Kriyamana adalah harapan
masa depan, yang saat ini sedang dirangkai. Dengan bekal manah (akal,
pikiran) dan budi, manusia diberi kebebasan menentukan masa depannya.
Manusia bisa menyusun sendiri bagaimana bentuk kehidupan yang
diinginkan. Inilah kelebihan manusia yang dianugerahkan oleh Sang
Pencipta.
2.Berdasarkan unsur triguna; triguna terdiri atas unsur satwah, rajah, dan tamah. Ketiganya masing-masing membentuk wikarma, sahaja karma, dan akarma.
a. wikarma: adalah karma yang dihasilkan dari guna satwah, yang
sifatnya satwik. Satwah adalah sifat-sifat dalam diri manusia yang
dipengaruhi secara kuat oleh Dharma. Yang dapat digolongkan dalam karma
yang wikarma antara lain: berkata yang benar dan lemah lembut, bekerja
dengan teliti, tenang; berpikir yang benar dan jernih, dan sebagainya.
b.sahaja karma: karma ini dihasilkan dengan guna rajah,
sifatnya disebut rajasik. Sifat ini mengarahkan dan mempengaruhi manusia
sehingga penuh gairah keinginan, terburu-buru, kurang sabar, dan
sebagainya. Bila manusia melakukan berbagai kegiatan dengan sifat-sifat
rajasik ini, itulah yang dinamakan sahaja karma. Hasilnya sudah bisa
diduga.
c.akarma: sifat tamasik yang mempengaruhi manusia untuk
menghasilkan akarma. Tamasik bisa disejajarkan dengan kemalasan.
Kadang-kadang akarma dikatakan sebagai tidak berbuat. Arti ini tidak
sepenuhnya benar. Tidak ada manusia yang benar-benar tidak berbuat sama
sekali. Manusia dibuat tak berdaya oleh hukum karma ini untuk berbuat
dan berbuat, walau dalam bentuk yang sangat pasif. Dalam diam pun
manusia berbuat, paling tidak manah atau pikirannya yang “berkelana”.
3. Berdasarkan kesucian: atas dasar kesucian perbuatan, karma dibagi menjadi subha karma dan asubha karma.
a. Subha karma: subha artinya suci, jadi subha karma adalah
perbuatan yang suci, perbuatan baik. Pikiran yang penuh kedamaian, hati
yang penuh rasa kasih sayang, akan menghasilkan ucapan, perkataan, dan
tindakan yang similar, sejajar, dan searah dengan itu. Konsep karma
memang menyangkut ketiganya (pikir, ucapan, dan tindakan).
b. Asubha karma: huruf a didepan kata subha membuat makna penyangkalan.
Dengan penyangkalan, muncul makna sebaliknya dari yang di atas.
Perbuatan-perbuatan yang didasari kegelisahan, kebencian, kekerasan,
amarah, dan sebagainya, dikategorikan sebagai asubha karma.
Dalam kaitannya dengan kedua karma berdasarkan kesucian ini, mucul
anekdot bahwa bila kita tidak banyak memiliki tabungan perbuatan baik,
maka bila ajal menjemput, kita akan dijemput asu. Yang dimaksudkan
bukanlah anjing (asu dalam bahasa Jawa dan Bali berarti anjing),
melainkan asubha karma ini.
4. Berdasarkan kebenaran: dengan faktor ini, karma dibagi menjadi sat karma, dush karma, dan mirsa karma
a. Sat karma: adalah karma yang dilaksanakan dengan dasar Dharma
(kebenaran). Semua perbuatan yang berlandaskan Dharma dianggap sebagai
sat karma.
b. Dush karma: kebalikan dari sat karma disebut dush karma. Dasar
perbuatan dush karma adalah yang bertentangan dengan Dharma, seperti
yang berdasarkan kroda, moha, matsarya, kama, dan sebagainya.
c. Misra karma: campuran antara sat karma dan dush karma disebut mirsa
karma. Manusia pada saat ini, pada zaman kali yuga ini, umumnya
melakukan atau menerima hasil karma ini. Karena umumnya manusia kini
melakukan keduanya. Tidak ada yang 100 % jahat, atau 100 % baik.
Sejahat-jahatnya perampok, selama hidupnya ia pasti pernah berbuat baik.
Semua hasil perbuatan ini akan kembali ke padanya. Hasil perbuatan baik
atau hasil perbuatan buruknya, hanya dial ah yang akan menerimanya,
bukan orang lain. Kalau yang lebih banyak adalah perbuatan buruknya,
maka setelah meninggal ia akan menerima hasil perbuatan baiknya terlebih
dahulu, kemudian baru menerima hasil perbuatan buruknya. Kalau
sebaliknya, lebih banyak perbuatan baiknya; justru ia akan menerima
hasil perbuatan buruknya terlebih dahulu, baru kemudian hasil perbuatan
baiknya yang dinikmatinya. Jadi tidak ada perbuatan yang sia-sia atau
yang tidak dipetik hasilnya menurut hukum karma ini. Tidak ada neraka
abadi bagi manusia, bagi manusia jahat sekalipun. Sebaliknya, tidak ada
juga surga abadi. Karena surga dan neraka hanya persinggahan sang atman,
untuk menentukan “baju” atau badan lain yang cocok dengan hasil
karmanya tadi (BG.II.22, Swargarohana Parwa).
5. Berdasarkan tri sarira: tri sarira adalah tiga jenis badan manusia,
yakni stula sarira/badan kasar atau fisik (tangan, kaki, kepala, dsb),
suksma sarira atau badan mental, dan badan penyebab (karana sarira).
a. Karma fisik: jenis karma ini berakibat pada badan fisik manusia,
misalnya saja makan yang kurang teratur akan menyebabkan tubuh sakit.
b. Karma astral: karma astral adalah karma yang berasal atau berakibat
pada perasaan, misalnya saja ucapan yang lemah lembut akan berakibat
pada perasaan yang akan menjadi senang. Atau berbicara tentang makanan
enak pada siang hari akan berakibat pada timbulnya rasa lapar, dan
sebagainya.
c. Karma mental: badan mental manusia akab kena pengaruh karma ini.
Senantiasa berpikir baik dan positif akan berakibat pada ketenangan
diri, kebahagiaan, kedamaian, kegembiraan, rasa optimis dan seterusnya.
Perlu dicatat ini juga adalah karma.
6. Berdasarkan hasilnya, phala atau buah atau hasil suatu karma
dibedakan atas dua jenis, yaitu: Vishaya (Wishaya) karma, dan sreyo
karma.
a. Wishaya karma, disebut juga karma yang mengikat. Keterikatan akan
hasil perbuatan adalah wishaya karma. Melakukan suatu perbuatan karena
ingin memperoleh imbalan, atau ada pamrih di balik perbuatannya. Jika
diperkirakan tidak ada hail baginya, maka tidaklah ia melakukannya.
Ketergantungan kepada hasil perbuatan inilah yang dikatakan wishaya.
b. Sreyo karma, adalah membebaskan diri dari ikatan terhadap hasil
perbuatan. Kegiatan yang dilakukan dengan tanpa berharap akan hasilnya
bukan berarti kerja dengan asal-asalan. Prosesnya tetap diletakkan pada
pelaksanaan penuh kompetensi. Bila dilaksanakan dengan kompetensi penuh,
lalu ditambah lagi dengan keikhlasan dan tanpa berharap hasil bagi diri
sendiri, niscayalah pada pelaksanaannya saja sudah mendatangkan
kebahagiaan. Bila mendatangkan kebahagiaan, apalagi saat pelaksanaannya
sudah dirasakan, maka karma itu dikatakan atmananda. Seperti pada awal
tulisan ini dikatakan bahwa antara perbuatan dan hasilnya tidak dapat
dipisahkan, bagai dua sisi mata uang. Tanpa diharapkan pun hasil itu
akan datang. Cepat atau lambat, hal itu pasti adanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar